Shallom PMKers! Sebentar lagi kita akan merayakan hari kelahiran Tuhan kita Yesus Kristus nih. Pasti banyak di antara kita yang sedang sibuk menghiasi rumah ataupun gereja kita dengan ornament-ornamen khas Natal. Tapi, sebelum melanjutkan semua itu, yuk kita berhenti sejenak untuk merenungkan bagaimana kasih seorang ibu kepada kita sekalian. Mungkin ada yang bertanya, “Loh,memangnya apa hubungannya hari Natal dengan merenungkan kasih ibu?”. Kalau masih bingung, yuk kita buka lagi kalender kita, dan lihatlah tanggal berapa sekarang? Ada apa di tanggal 22 Desember? Ya, betul sekali! Setiap tanggal 22 Desember, kita merayakan Hari Ibu Nasional. Sebagai seorang anak, sudahkah kita benar-benar menyadari dan mensyukuri kasih ibu?
Berbicara tentang kasih seorang ibu ibu, ada suatu kisah yang mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Ya, cerita ini mengkisahkan tentang seorang anak yang tidak setuju dengan ibunya, sehingga si anak memutuskan untuk pergi dan meninggalkan rumah. Bagi yang belum pernah membaca kisah tersebut, yuk kita simak cerita berikut baik-baik.
“KASIH SEORANG IBU”
Suatu malam, seorang pemuda bertengkar dengan ibunya karena ada perbedaan pendapat di antara pemuda tersebut dengan sang ibu. Karena sangat marah, ia segera meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Saat berjalan ia baru menyadari bahwa ia sama sekali tidak membawa uang. Saat menyusuri sebuah jalan, ia melewati sebuah kedai bakmi dan ia mencium harumnya aroma masakan. Ia ingin sekali memesan semangkuk bakmi di situ, tetapi ia tidak mempunyai uang.
Pemilik kedai melihat si anak berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu tergeraklah hatinya dan berkata: “Nak, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi?”.
“Ya, tetapi, aku sama sekali tidak membawa uang pak”, jawab si pemuda dengan malu-malu.
“Tidak apa-apa, aku akan mentraktirmu”, jawab si pemilik kedai.
“Silakan duduk, aku akan memasakkan bakmi untukmu”.
Tidak lama kemudian, pemilik kedai itu mengantarkan semangkuk bakmi.
Pemuda tersebut segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang.
“Ada apa nak?”, tanya si pemilik kedai.
“Tidak apa-apa pak, aku hanya terharu”, jawab pemuda itu sambil mengeringkan air matanya.
“Bahkan, seorang yang baru kukenal pun memberi aku semangkuk bakmi! Tetapi, ibuku sendiri, setelah bertengkar denganku, mengusirku dari rumah dan mengatakan kepadaku agar jangan kembali lagi. Namun sekarang, anda adalah seseorang yang baru kukenal! Tetapi, anda begitu peduli denganku dibandingkan dengan ibu kandungku sendiri”, katanya kepada pemilik kedai.
Setelah mendengar perkataannya, pemilik kedai itu menarik nafas panjang lalu ia pun mulai berkata: “Nak, mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak berbagai masakan yang lezat untukmu sedari engkau masih kecil sampai saat ini, mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya? Dan kau malah bertengkar dengannya”.
Si pemuda terhenyak mendengar hal tersebut. “Mengapa aku tidak berpikir tentang hal itu? Untuk semangkuk bakmi dari orang yang baru kukenal, aku begitu berterima kasih. Tetapi kepada ibuku yang memasak untukku selama bertahun-tahun, aku bahkan tidak memperlihatkan kepedulianku kepadanya. Dan hanya karena persoalan sepele, aku bertengkar dengannya”.
Dia segera menghabiskan bakminya, lalu ia menguatkan dirinya untuk segera pulang ke rumahnya. Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yang harus diucapkan kepada ibunya. Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya berwajah letih dan cemas. Ketika bertemu dengannya, kalimat pertama yang keluar dari mulutnya adalah, ”Nak, nak, kau sudah pulang? Cepat masuklah, Ibu telah menyiapkan makan malam. Makanlah dahulu sebelum kau tidur. Makanan akan dingin jika kau tidak memakannya sekarang”. Pada saat itu si pemuda tersebut tidak dapat menahan tangisnya. Ia pun menangis di pelukan ibunya.
Seringkali kita begitu mengucap syukur kepada teman, sahabat, atau orang asing sekalipun yang telah memberikan suatu pertolongan kecil kepada kita. Tetapi, kepada orang-orang yang sangat dekat kepada kita terutama orang tua kita sendiri, kita sulit atau lebih tepatnya tidak mau untuk melihat dan menghargai pertolongan yang diberikan kepada kita. Untuk menghargai cinta kasih mereka, kita menganggap itu sebagai suatu keharusan, sebuah kewajiban. Baiklah kita mulai merenungkan hal-hal mendasar seperti mensyukuri kasih Allah yang tercermin dari kasih orang tua kita, terutama dari ibu kita, dan janganlah menjadi bebal. Seperti yang tertulis pada Amsal 17:26, “Anak yang bebal menyakiti hati ayahnya, dan memedihkan hati ibunya”.
-Blast