
Teman – teman pasti pernah mendengar pepatah “Diatas langit masih ada langit”. Biasanya diucapkan ketika bertemu dengan orang yang sombong atau angkuh atau bisa juga dikatakan tinggi hati. Tinggi hati adalah bagian dari ego yang dimiliki oleh manusia. Permainan ego dapat dilakukan oleh siapapun, tidak mengenal kasta, tidak mengenal latar belakang hingga gender. Setiap manusia memiliki ego, tetapi bukan berarti semua hal harus diegokan. Seseorang akan dikatakan lebih bijak apabila ia mampu mengendalikan ego nya. Jika X punya uang Rp 100.000,00 masih ada Y yang memiliki uang Rp 101.000,00 atau bahkan lebih dari jumlah total uang yang dimiliki X dan Y.
Jika A bisa memainkan musik dengan piawai dan harmonis dan menjadi pemusik profesional dan bermartabat, masih ada B yang bisa mengoperasikan dan mengelola bisnis yang membuatnya mendapatkan nama, harta dan tahta. Bahkan masih ada C juga yang bisa mendapatkan apa yang dimiliki oleh si A dan B. Semua orang menjadi hebat pada porsi mereka masing – masing. Masih pantaskah kita untuk memegahkan diri dan menganggap diri sebagai sosok si paling? Apakah kita masih layak untuk berjalan sembari menaikkan dagu di tengah keramaian khalayak umum?
Matius 23:12 “Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Kisah ini berawal dari teguran Yesus kepada orang Farisi yang sering membeberkan kesalahan orang lain tapi enggan menerima teguran atau kritik. Dari sini kita belajar ketika kita menerima teguran atau kritikan maka kita telah menunjukkan sikap rendah hati. Kerendahan hati membimbing kita untuk menerima kenyataan apa adanya, khususnya orang yang dekat dengan kita karena hubungan keluarga, keterikatan dalam iman, atau kehidupan itu sendiri. Cara berperilaku, bertutur kata, dan bersikap juga menjadi wujud dalam penerapan rendah hati. Banyak sikap dan sifat yang dibiasakan hingga menjadi suatu kelaziman dan tidak disadari bahwa sebenarnya hal tersebut menjadi suatu kesombongan. Cara berbicara, cara menatap, cara menanggapi, bebal, hingga keras kepala. Bagaimana cara kita memperlakukan atau menyikapi sesuatu hingga menganggap orang lain?
Untuk menjadi orang yang rendah hati tentu kita perlu mengetahui bagaimana ciri – ciri orang yang rendah hati. Dikutip dari buku Pendidikan Agama Kristen karya Pdt.Janse Belandina adalah seperti berikut.
- Takut akan Tuhan dan menggantungkan hidup pada-Nya.
- Taat kepada Tuhan dan melakukan perintah/ajaran-Nya.
- Menghindari pemegahan diri sendiri tidak menyombongkan diri.
- Menghargai kelebihan orang lain.
- Menyadari kelemahan diri.
- Menghargai talenta yang Tuhan berikan dan dipakai untuk menolong orang lain dan berpartisipasi dalam komunitas
- Bersedia menolong orang lain dengan tulus
Kerendahan hati memperoleh penekanan utama dalam ajaran Yesus. Ia tak hanya mengajarkan prinsip-prinsip kerendahan hati namun Ia mempraktekannya. Ia mengajar sekaligus menjadi panutan dalam hal kerendahan hati. Sebagaimana Ia tidak datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani, kita juga harus berkomitmen melayani orang lain, dengan mengedepankan kepentingan orang lain dahulu. Yohanes 13 : 4-5 menjadi bukti kerendahan hati Tuhan Yesus, ketika membasuh kaki murid murid-Nya dan menjadi bukti bahwa Yesus datang untuk melayani bukan dilayani. Yesus tidak menganggap diri-Nya lebih tinggi dari murid – muridnya. Dalam kerendahan hati-Nya, Ia selalu taat kepada Bapa dan begitu pula umat Kristen yang rendah hati harus siap mengesampingkan segala keegoisan dan tunduk dalam ketaatan kepada Allah serta Firman-Nya. Mengapa kita bisa menganggap diri kita lebih tinggi dari orang lain?
Kerendahan hati yang sejati menghasilkan kesalehan, rasa cukup, dan rasa aman dan pertumbuhan iman. Iman akan menolong kita untuk menghadapi berbagai kenyataan hidup yang seringkali melukai perasaan maupun mengusik kenyamanan diri. Hal ini untuk menunjukkan bahwa hidup beriman kepada Kristus berarti esensial karena kita bersedia menerima kenyataan pahit seperti bersedia menerima kenyataan manis dalam jalannya kehidupan. Seseorang yang beriman dengan rendah hati, tidak lagi menghitung ‘pengakuan’ atas setiap karya yang ia kerjakan di dalam TUHAN. Bagi dirinya, iman yang hidup berarti tetap berdampak secara nyata, entah diakui maupun tidak dianggap oleh orang lain yang menerimanya.
Kita perlu memiliki kerendahan hati untuk menyambut kemuliaan dan kemahakuasaan TUHAN yang Ia berikan kepada kita dengan penuh kasih. Mintalah Tuhan untuk memberi kita iman dan kebesaran hati untuk taat pada kehendak dan rencana-Nya. Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman