Category Archives: Menulis Asyik

“Mengapa Sifat Rendah Hati Essensial dalam Kehidupan Iman & Rohani”

Teman – teman pasti pernah mendengar pepatah “Diatas langit masih ada langit”.  Biasanya diucapkan ketika bertemu dengan orang yang sombong atau angkuh atau bisa juga dikatakan tinggi hati. Tinggi hati adalah bagian dari ego yang dimiliki oleh manusia. Permainan ego dapat dilakukan oleh siapapun, tidak mengenal kasta, tidak mengenal latar belakang hingga gender. Setiap manusia memiliki ego, tetapi bukan berarti semua hal harus diegokan. Seseorang akan dikatakan lebih bijak apabila ia mampu mengendalikan ego nya. Jika X punya uang Rp 100.000,00 masih ada Y yang memiliki uang Rp 101.000,00 atau bahkan lebih dari jumlah total uang yang dimiliki X dan Y. 

Jika A bisa memainkan musik dengan piawai dan harmonis dan menjadi pemusik profesional dan bermartabat, masih ada B yang bisa mengoperasikan dan mengelola bisnis yang membuatnya mendapatkan nama, harta dan tahta. Bahkan masih ada C juga yang bisa mendapatkan apa yang dimiliki oleh si A dan B. Semua orang menjadi hebat pada porsi mereka masing – masing. Masih pantaskah kita untuk memegahkan diri dan menganggap diri sebagai sosok si paling? Apakah kita masih layak untuk berjalan sembari menaikkan dagu di tengah keramaian khalayak umum? 

Matius 23:12 “Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Kisah ini berawal dari teguran Yesus kepada orang Farisi yang sering membeberkan kesalahan orang lain tapi enggan menerima teguran atau kritik. Dari sini kita belajar ketika kita menerima teguran atau kritikan maka kita telah menunjukkan sikap rendah hati. Kerendahan hati membimbing kita untuk menerima kenyataan apa adanya, khususnya orang yang dekat dengan kita karena hubungan keluarga, keterikatan dalam iman, atau kehidupan itu sendiri. Cara berperilaku, bertutur kata, dan bersikap juga menjadi wujud dalam penerapan rendah hati. Banyak sikap dan sifat yang dibiasakan hingga menjadi suatu kelaziman dan tidak disadari bahwa sebenarnya hal tersebut menjadi suatu kesombongan. Cara berbicara, cara menatap, cara menanggapi, bebal, hingga keras kepala. Bagaimana cara kita memperlakukan atau menyikapi sesuatu hingga menganggap orang lain? 

Untuk menjadi orang yang rendah hati tentu kita perlu mengetahui bagaimana ciri –  ciri orang yang rendah hati.  Dikutip dari buku Pendidikan Agama Kristen karya Pdt.Janse Belandina adalah seperti berikut.

  • Takut akan Tuhan dan menggantungkan hidup pada-Nya.
  • Taat kepada Tuhan dan melakukan perintah/ajaran-Nya.
  • Menghindari pemegahan diri sendiri tidak menyombongkan diri.
  • Menghargai kelebihan orang lain.
  • Menyadari kelemahan diri.
  • Menghargai talenta yang Tuhan berikan dan dipakai untuk menolong orang lain dan berpartisipasi dalam komunitas
  • Bersedia menolong orang lain dengan tulus

Kerendahan hati memperoleh penekanan utama dalam ajaran Yesus. Ia tak hanya mengajarkan prinsip-prinsip kerendahan hati namun Ia mempraktekannya. Ia mengajar sekaligus menjadi panutan dalam hal kerendahan hati. Sebagaimana Ia tidak datang untuk dilayani, melainkan untuk melayani, kita juga harus berkomitmen melayani orang lain, dengan mengedepankan kepentingan orang lain dahulu. Yohanes 13 : 4-5 menjadi bukti kerendahan hati Tuhan Yesus, ketika membasuh kaki murid murid-Nya dan menjadi bukti bahwa Yesus datang untuk melayani bukan dilayani. Yesus tidak menganggap diri-Nya lebih tinggi dari murid – muridnya. Dalam kerendahan hati-Nya, Ia selalu taat kepada Bapa dan begitu pula umat Kristen yang rendah hati harus siap mengesampingkan segala keegoisan dan tunduk dalam ketaatan kepada Allah serta Firman-Nya. Mengapa kita bisa menganggap diri kita lebih tinggi dari orang lain?

Kerendahan hati yang sejati menghasilkan kesalehan, rasa cukup, dan rasa aman dan pertumbuhan iman. Iman akan menolong kita untuk menghadapi berbagai kenyataan hidup yang seringkali melukai perasaan maupun mengusik kenyamanan diri. Hal ini untuk menunjukkan bahwa hidup beriman kepada Kristus berarti esensial karena kita bersedia menerima kenyataan pahit seperti bersedia menerima kenyataan manis dalam jalannya kehidupan. Seseorang yang beriman dengan rendah hati, tidak lagi menghitung ‘pengakuan’ atas setiap karya yang ia kerjakan di dalam TUHAN. Bagi dirinya, iman yang hidup berarti tetap berdampak secara nyata, entah diakui maupun tidak dianggap oleh orang lain yang menerimanya.

Kita perlu memiliki kerendahan hati untuk menyambut kemuliaan dan kemahakuasaan TUHAN yang Ia berikan kepada kita dengan penuh kasih. Mintalah Tuhan untuk memberi kita iman dan kebesaran hati untuk taat pada kehendak dan rencana-Nya. Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman

Advertisement

Menemukan Kemuliaan dalam Kerendahan Hati

Bulan April menjadi momen yang spesial bagi umat Kristiani di seluruh dunia. Pada bulan ini, umat Kristiani merayakan Jumat Agung dan Paskah yang identik dengan perlombaan mencari telur paskah. Nah, kalian tahu ga kalau sebenarnya perayaan Paskah ini merupakan tradisi turun temurun oleh bangsa Israel? Jadi, perayaan paskah atau disebut Hari Raya Roti Tidak Beragi (baca Keluaran) pada dasarnya merupakan perayaan untuk mengingat kebesaran dan kuasa Tuhan yang membebaskan Israel dari tanah perbudakan Mesir melalui kesepuluh tulah. Kebesaran Tuhan yang disaksikan manusia pada zaman itu, sayangnya, belum bisa merendahkan hati bangsa Israel. Jatuh bangun (lebih banyak jatuh) bangsa Israel dalam pelanggaran taurat membuktikan sikap hati bangsa Israel yang tidak rendah hati dalam menerima kuasa dan berkat Tuhan.

Perayaan Paskah yang juga merayakan kebangkitan Kristus di kayu salib mengingatkan kita apa yang dimaksud dengan kerendahan hati yang mendatangkan pertobatan bagi seluruh umat yang percaya pada Kristus. Melalui Filipi 2:5-8 dijelaskan bahwa sekalipun dalam rupa Allah, Yesus tidak menganggap kesetaraan (posisi-Nya) sebagai sesuatu yang harus dipertahankan. Namun, Yesus (dengan kerelaan dan kerendahan hati-Nya) mengosongkan diri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi (setara) sama dengan manusia. Bahkan, dalam keadaan sebagai manusia tetap merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati di kayu salib. Pengorbanan Yesus di kayu salib bukan hanya berupa pengorbanan fisik, lebih dari itu pengorbanan-Nya dengan mengosongkan diri dan menjadi 100% manusia (juga 100% Allah) mengizinkan terpisahnya hubungan Bapa dengan Anak (“Eloi! Eloi! Lama Sabakhtani”). Sepanjang hidupnya sebagai manusia Yesus jalani dengan penuh kerendahan diri dan ketaatan hingga garis akhir. Oleh karena itu, dalam Filipi 2:9-11 Allah meninggikan Dia (Yesus) dan mengaruniakan kepada Yesus nama di atas segala nama, sehingga dalam nama Yesus segala yang ada di langit, di bumi, di bawah bumi, dan segala lidah mengaku “Yesus Krsitus adalah Tuhan, bagi kemuliaan Allah, Bapa!”  Hadiah dari kerendahan hati dan ketaatan Yesus di kayu salib mendatangkan kemuliaan bagi nama-Nya. 

Belakangan ini, ungkapan “God humbled me in so many ways” atau “This/ that humbled me so fast” cukup banyak ditemukan dalam sosial media. Dalam unggahan tersebut, orang-orang menceritakan bagaimana cara Tuhan menyatakan kuasaNya dalam kehidupan mereka. Tuhan sendiri memiliki berbagai cara untuk merendahkan kita semua dengan belas kasihan. Apa gunanya? Jawaban terbaik yang kita dapat miliki adalah sesuai dengan pernyataan Paulus pada 2 Korintus 12:9, bahwa justru di dalam kelemahan kita kuasa Tuhan nyata dan sempurna. Maka, bagaimana kita dapat merendahkan hati bila kehidupan kita terus berjalan sesuai keinginan kita? 

Saul merupakan raja Israel pertama, dalam hidupnya ia dikenal sebagai orang yang kuat dan cakap. Panggilan Saul menjadi raja pada awalnya diterima dengan kerendahan hati, namun seiring waktu Saul mulai meninggikan egonya. Kesalahan Saul yang tidak taat dalam mengikuti perintah Tuhan melalui Samuel membuatnya kehilangan perkenanan Tuhan. Berbeda dengan Saul, Daud dengan perawakannya yang kecil dan lemah memiliki hati yang berani dan rendah hati, terutama selalu melibatkan Tuhan dalam keputusannya. Tuhan memakai Daud luar biasa hingga mampu mengalahkan Goliat dan membawa kemenangan Israel dari Filistin.

Sama halnya dengan kita, seringkali kita merasa bahwa hidup kita sudah cukup baik. Kita sudah cukup berkontribusi dalam pelayanan di kampus, gereja, komunitas, dll. Kita sudah cukup melakukan pekerjaan dan bermanfaat bagi orang-orang di sekitar kita. Namun, perasaan tersebut tanpa disadari dapat menjadi batu sandungan dalam pelayanan kita. Ingat, bahwa kerendahan hati bukanlah inisiatif kita. Ketika Tuhan mempercayakan sebuah tugas seberapa sering kita terlebih dahulu bertanya pada Tuhan, bagaimana cara melakukannya? apakah ini memang sesuai kehendak-Nya? Seberapa sering kita melibatkan Tuhan dan memprioritaskan kemuliaan Allah dinyatakan dalam pekerjaan kita?

Dalam kehidupan, kita mungkin pernah berpikir bagaimana skenario Tuhan berujung pada penyadaran akan pekerjaanNya yang nyata dalam hidup kita. Misalnya dalam melalui kegagalan atau kekecewaan, Tuhan tidak pernah bermaksud membiarkan kita terpuruk dalam kegagalan atau mempermalukan kita karena dosa, namun secara khusus ketika kita melihat kegagalan sebagai wujud belas kasih-Nya yang mengungkapkan kesalahan kita kemudian memanggil dan menyadarkan diri untuk kembali pada-Nya (mengarahkan diri pada pertobatan), maka pertobatan dengan merendahkan diri ini yang Tuhan cari. Kerendahan hati bukan karena kita telah merendahkan diri sendiri, tetapi karena Allah, dalam belas kasihan-Nya, berinisiatif untuk merendahkan kita terlebih dahulu, mengundang kita untuk menyambut pekerjaanNya, dan berpartisipasi dalam proses melalui pertobatan yang merendahkan diri. 

Poin kedua, kerendahan hati berasal dari kesadaran akan kebenaran Allah. Ketika kita melihat bahwa kehidupan seakan-akan tidak adil dan tidak baik hingga mempertanyakan eksistensi Tuhan sendiri. Ingatlah bahwa Tuhan adalah Maha adil. Mengevaluasi diri dan hati kita membuat kita menemukan bahwa sebenarnya terdapat hal yang salah dalam diri kita. Misalnya, saat kita berada di titik rendah dalam hidup kita, libatkan diri kita dalam persekutuan rohani yang menguatkan. Dengan melibatkan orang disekitar kita, kasih Allah dapat dinyatakan melalui orang di sekitar kita. Bahkan menyadarkan kita atas apa yang sebenarnya salah. Merasakan experience keadilan Tuhan melalui kehidupan orang lain dapat menguatkan kita menuju pada pertobatan.

Terakhir, ketika kita melihat bagaimana Tuhan merendahkan orang lain. Maksudnya adalah, dalam perkumpulan atau lingkungan kita, seringkali kita membandingkan diri kita satu sama lain. Hal itu kemudian menjadi cara Tuhan untuk merendahkan hati kita dengan melihat bagaimana orang lain direndahkan oleh Tuhan. Misalnya, ketika seseorang dari teman kita Tuhan buat jatuh dalam ego dan kesombongannya, hingga pada suatu titik Tuhan mengizinkan segala yang dimiliknya diambil. Kita sebagai orang di sekitarnya (bukan menghakimi) dapat belajar dari kehidupan orang tersebut. Bahwasannya Tuhan tidak menginginkan hal yang sama terjadi pada kita. Melainkan, kebijaksanaan yang kita peroleh atas hal tersebut. Kebijaksanaan ini yang dapat timbul sebagai tanggapan terhadap kerendahan hati orang lain, bahwa kita hidup atas belas kasihanNya.

Pada akhirnya, kerendahan hati merupakan respon kita atas belas kasihan Tuhan. Pertobatan yang benar dan sejati hanya terjadi bila kita merendahkan hati di hadapanNya. Kerendahan hati yang kemudian memunculkan ketaatan dalam pertobatan mengubah hidup kita seutuhnya. Sehingga, sama halnya dengan ketaatan dan kerendahan hati Yesus di kayu salib mendapatkan hadiah kemuliaan namaNya selamanya, maka kita anakNya juga dapat menemukan kemuliaan tersebut dalam pertobatan yang rendah hati.

Ilustrasi 1. Proses Menemukan Kemuliaan Melalui Kerendahan Hati

Bertahan Hingga Akhir atau Bertahan di Akhir ?

Roma 12:1 “Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.”

Melalui Roma 12:1 Paulus mengajak dan mengajar kepada kita semua anak-anak Allah mengenai apa itu Ibadah Sejati. Disini kita belajar 3 hal penting mengenai Ibadah Sejati:

  1. Ibadah Sejati merupakan ibadah yang dilakukan secara totalitas atau memberikan keseluruhannya dengan usaha lebih. Artinya bukan sekedar hanya mengikuti dan aktif pelayanan di dalam gereja, namun disini yang perlu di garis bawahi adalah totalitas yang menyeluruh pada seluruh aspek kehidupan kita.

Pada ayat 12: 1 dikatakan bahwa kita harus mempersembahkan tubuhmu (kita) sebagai persembahan yang hidup. Kata “Mempersembahkan” disini adalah berani menyerahkan seluruh hidup kita untuk dikuasai oleh Kristus sebagai Tuhan Allah kita, dengan kata lain kita juga harus menyesuaikan dengan kehendak atau hidup sesuai dengan kemauan Allah. Tentu pada dasarnya hal ini merujuk kepada “Menyangkal diri”. Ketika kita menyerahkan diri kepada Allah maka kita siap untuk mengatakan TIDAK kepada diri sendiri, bahkan hari demi hari dan sampai akhir. 

  1. Ibadah Sejati adalah ibadah yang kudus. Pada poin kedua, Paulus menasihatkan kepada jemaat roma untuk mempersembahan tubuh mereka sebagai persembahan yang kudus.  Dalam hal ini, kita anak-anak Allah diingatkan bahwa Ibadah sejati bukan hanya sebatas beribadah di gereja pada hari Minggu. Perilaku kita harus mencerminkan karakter Kristus, di antaranya mengasihi, memaafkan, hidup kudus, dan menyenangkan hati Allah. Selain itu, juga harus memberikan dampak positif bagi lingkungan sekitar, baik sekolah, pergaulan, hingga pekerjaan.
  1. Ibadah Sejati adalah Ibadah yang berkenan kepada Allah artinya ibadah yang menyenangkan Allah. Pada bagian ini Ibadah bisa berkenan kepada Allah ketika ibadah dilakukan baik ketika berpelayanan maupun dalam kehidupan sehari-hari yang fokusnya bukan untuk memuliakan diri sendiri namun memuliakan Allah. 

Disini Paulus menasihati kita untuk beribadah bukan untuk mencari keuntungan namun untuk menyenangkan Allah. Bahkan bukan hanya Ibadah saja, namun juga dalam kehidupan berpelayan dimana fokus dalam pelayanan adalah dari Allah, oleh Allah dan bagi Allah saja (Roma 11:36). Sehingga pelayanan yang berpusat kepada Allah adalah pelayanan yang tidak mencari keuntungan pribadi.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibadah sejati adalah ibadah yang dilakukan dengan totalitas baik dalam pelayanan maupun kehidupan sehari-hari. Kita anak-anak Allah seharusnya memiliki keinginan yang tulus dan ikhlas untuk menyenangkan hati Allah dalam kasih, pengabdian, pujian dan kekudusan, serta mempersembahkan tubuh dalam pelayanan. Karena itu pelayanan bukan sesuatu kegiatan yang main-main. Butuh keinginan yang kuat untuk bersedia mempersembahkan seluruh tubuh ini kepada Allah. Tujuan utama pelayanan ini adalah untuk menyenangkan Allah, sehingga jangan sampai kita memandang kegiatan pelayanan kepada Allah sebagai sesuatu yang hanya kita lakukan untuk mengisi waktu luang saja namun melakukannya dengan semangat dan mempertahankannya sampai akhir. Pada Roma 12:1 juga merujuk kepada kita yang diharuskan untuk menghargai karunia dan kemampuan satu sama lain yang dapat digunakan dalam pelayanan. kita tidak diperbolehkan meremehkan orang lain yang memiliki karunia berbeda. Adapun karunia yang dimaksud meliputi, karunia menasihati, mengajar, bernubuat, dan melayani. Bukan hanya Fokus pada pelayanan saja namun kehidupan sehari-hari juga harus dilakukan dengan totalitas karena itu juga bentuk ibadah sejati. Dimana dalam keseharian, kita harus selalu menyangkal diri dan memiliki perilaku yang mencerminkan kristus.

Sehingga melalui bacaan ini diharapkan bahwa kita orang percaya untuk dapat dengan tulus dan ikhlas mempersembahkan diri yang kudus (dalam pelayanan dan kehidupan sehari-hari) yang berkenan bagi Allah.

Dalam Perjanjian Baru, pelayanan adalah bagian dari ibadah seseorang kepada Allah dan kepada sesamanya dalam nama Allah. Bentuk-bentuk Pelayanan bisa melalui apa saja seperti Pelayanan di Pemerintahan, Gereja, Organisasi Kampus dan sebenarnya apapun yang sedang kita kerjakan juga merupakan bentuk pelayanan kita terhadap Allah yang tujuan untuk menyenangkan hati Allah. Sehingga Kita sebagai anak-anak Allah.seharusnya memiliki keinginan yang tulus-ikhlas untuk menyenangkan hati Allah dalam kasih, pengabdian, pujian dan kekudusan, serta mempersembahkan tubuh untuk pelayanan. Karena itu pelayanan bukan sesuatu kegiatan yang main-main. Butuh keinginan yang kuat untuk bersedia mempersembahkan seluruh tubuh ini kepada Allah. Kita tidak dapat memandang kegiatan Pelayanan kepada Allah sebagai sesuatu yang hanya kita lakukan untuk mengisi waktu luang saja.

Akhir Menjadi Awal ?

Ketika ditanyakan apa saja kendala atau masalah yang sedang dihadapi saat ini, banyak diantara kita yang akan merincikan dan menjelaskan seluruhnya tanpa ada yang ketinggalan. Namun, bila ditanyakan apakah kita mengetahui makna dari seluruh yang terjadi pada kita saat ini, kita hanya akan menjawab seluruh makna dari hal baik, bukan makna dari seluruh kendala yang dialami sebelumnya. Sebenarnya apa sih makna itu? Spontan kita akan mengatakan bahwa “makna” itu adalah arti atau nilai dari sesuatu. Jika ditanyakan, sepenting itu kah segala sesuatu harus memiliki makna? Ya, penting. Apa alasannya? Beberapa akan menjawab sesuai dengan apa yang mereka alami dan beberapa lagi akan menjawab sesuai dengan kelaziman yang terjadi (biasanya kayak gitu). Setelah menemukan makna tersebut, apakah itu sebagai langkah akhir atau langkah awal?

Kenapa kita hanya menjelaskan makna dari yang baik saja? Ada apa dengan makna dari yang buruk? Hal buruk belum tentu memiliki makna yang buruk. Demikian juga sebaliknya, hal baik belum tentu memiliki makna yang baik. Mereka menjadi dua variabel yang harus dipahami dengan sangat kritis. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, bisa karena dipengaruhi oleh faktor eksternal dan juga internalnya. Ketika manusia tidak dapat menemukan makna tersebut, disitu menjadi titik yang membuat manusia berpikir bahwa itu adalah “Akhir” dari segalanya. Ya pada akhirnya, kebanyakan insan juga menjadi pengaruh bagi kita untuk menentukan dan mencari makna dari hidup kita masing-masing. Yang menjadi pertanyaannya adalah sudah seberapa jauh kita memaknai seluruh aspek/hal yang telah kita maknai itu? Apakah hanya terus menggunakan logika? Apakah anda menggantungkan makna tersebut berdasarkan perspektif orang lain? Apakah itu benar – benar menjadi akhir apabila makna tersebut tidak berhasil ditemukan?

Tekanan memang benar-benar melemahkan manusia, baik yang bisa dikendalikan atau yang tidak bisa dikendalikan sama sekali. Tekanan sering menjadi titik tumpu kegagalan kita untuk mencapai makna dari semua yang kita lakukan. Hal itu juga yang sering menjauhkan kita dari Tuhan. Membuat kita menjadi orang yang selalu mempertanyakan diri sendiri dan cenderung mengikuti arus dari tekanan tersebut. Tuhan meminta manusia untuk menguatkan dan meneguhkan hati, jangan takut dan gemetar. Ia tidak akan meninggalkan dan membiarkan kita.   Karena nanti Allah sendiri yang berjalan menyertai kita, seperti yang tertulis pada (Ulangan 31 : 6) Semua tentang bagaimana kita menyikapi seluruh tekanan dan kendala itu. Tetap setia dan bertahan hingga akhir. Terkadang tekanan dan kendala yang membuat kita untuk belajar hal – hal baru yang belum tentu juga dialami oleh orang lain. Kita andaikan makna tersebut dapat dicapai dan diselesaikan hingga akhir. Lalu, apakah itu benar benar akhir? atau masih ada awal yang baru untuk dijelajahi? Apakah kita masih mau untuk memulai dari awal kembali?

Lalu bagaimana jika makna tersebut tidak berhasil dicapai. Akankah kita mengakhiri semuanya dan tidak memulai kembali lembaran yang baru? Akankah kita menyerah dengan sia sia? Lembaran 2023 baru saja dimulai di lembaran kertas yang kosong. Arianna Huffington penulis buku dan pencipta media Huffington News terbesar di Amerika Serikat pernah mengalami kisah pahit dalam karirnya. Awal karir dimulai dengan menerbitkan buku dan ditolak sebanyak 36 kali oleh penerbit buku di Amerika Serikat. Berkat kegigihannya, Ia berhasil menjadi tokoh ternama di Amerika Serikat. Akhir yang pahit tak selamanya menjadi awal yang pahit pula untuk memulai awal yang baru. Yang dibutuhkan hanya sedikit ketekunan dan kesabaran. 

Bagaimana kita menyelesaikan 2023 bukanlah menjadi hal yang harus dipertanyakan, lebih dari itu kita harus menyusun apa yang harus dikerjakan untuk 2023. Tanpa dilakukan semua akan terasa sama dan tidak ada yang berubah. Segala yang terjadi dan desember 2022 bukan menjadi penghujung bagi segalanya. Sesungguhnya masih ada januari yang baru hingga desember yang baru di kalender yang baru. Justru Allah memberikan 2022 untuk menjadi batu loncatan ke 2023. Mari jadikan 2022 sebagai tahun peralihan untuk reformasi 2023. Biar tahun sebelumnya menjadi tempat kita untuk belajar dan kini saatnya waktu untuk mengaplikasikan semua yang telah dipelajari. Sebab sesungguhnya, Aku menciptakan langit yang baru dan bumi yang baru; hal – hal yang dahulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbul lagi dalam hati” (Yesaya 65 : 17)

Cukup serahkan, kerjakan dan doakan agar senantiasa dipegang Tuhan. Selalu berusaha dan percaya kepada Tuhan di tengah semua ketidakmungkinan yang menjadi kekhawatiran kita. Tuhan bukanlah pribadi pada umumnya yang selalu melihat dan fokus pada hasilnya. Sebuah proses lebih berharga bagi-Nya, karena dari situlah Tuhan melihat dan  tahu bagaimana cara kita untuk mencapai hasil yang Tuhan inginkan, bukan yang kita inginkan.

Bersyukur Dulu Baru Bahagia atau Bahagia Dulu Baru Bersyukur ?

Penulis: Kesia

Shalom PMKers!

Akhir-akhir ini kita melewati keseharian kita dengan berbagai kejadian yang membuat kita senang, kesal, sedih, dan lain-lain. Terkadang kita sulit untuk menemukan kebahagiaan. Padahal, bahagia itu sederhana. Hanya dengan bersyukur dan mencukupkan diri dengan apa yang ada, maka kita akan menemukan kebahagiaan. Sebaliknya, jika kita terus-menerus merasa tidak puas dengan keadaan kita, maka kita akan sedih, gelisah, dan menjadi orang paling malang sedunia. Orang-orang sering sulit mengucap syukur kepada Tuhan ketika sedang diperhadapkan pada kesulitan, masalah, kesukaran atau kekurangan. Sejujurnya, memang bukan perkara mudah untuk mengucap syukur di tengah situasi yang tidak baik. Namun, kita dapat belajar menjadi pribadi yang bisa mengucap syukur dalam segala hal.

Kita juga memiliki target, tujuan, atau impian yang mau kita capai. Seringkali kita baru berbahagia ketika impian kita tercapai. Daripada digusarkan dan digelisahkan dengan apa yang belum ada pada kita, berbahagialah sejak sekarang dengan mengucap syukur atas apa yang sudah ada dalam hidup kita. Daripada mengeluh untuk hal-hal yang belum kita miliki, daftarkanlah hal-hal yang sudah kita miliki dan bersyukurlah, maka kita akan menjadi orang-orang yang bahagia sepanjang waktu. Jadi, jangan menunggu impian kita tercapai dan bersyukurlah dengan apa yang ada.

Bersyukur dulu baru bahagia, bukan bahagia dulu baru bersyukur karena mengucap syukur seharusnya tidak tergantung pada keadaan dan suasana hati. Belajarlah mengucap syukur atas hal-hal sederhana yang kita miliki saat ini, entah itu mengucap syukur untuk tubuh yang sehat, mengucap syukur untuk keseharian yang kita lewati, dan mengucap syukur untuk setiap berkat jasmani yang Tuhan sediakan setiap hari. Kita juga bersyukur bukan karena hidup tanpa masalah, tapi kita bersyukur karena Tuhan ada bersama kita untuk melewati setiap masalah. Teman-teman, ayo kita ingat berkat-berkat yang sudah Tuhan berikan dalam hidup kita sehingga kita selalu bisa mengucap syukur dalam segala keadaan. 

Tuhan memberkati!

Menulis Asyik

Perlukah Rasa Khawatir?
Penulis: Rodnauli

Shalom PMKers!
Masih “suka kuatir”? Meski hal yang lazim – apalagi bagi masyarakat perkotaan – perasaan ini sebaiknya jangan dipiara lama-lama. Ayo kita simak apa yang dipesankan oleh nas 1 Petrus 5:7 “Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.” Ini tulisan yang sangat memberkati. Silahkan disimak
 
Pasti di antara kita atau bahkan setiap individu, pernah mengalami yang namanya ragu atau khawatir. Entah itu akan hari esok, masa depan yang masih jauh, atau bahkan sekarang ini. Iya, saat ini! Tentang apa? Bisa aja khawatir apakah esok akan cerah, apakah akan baik-baik saja, dan apakah perkuliahan ini akan selesai tepat waktu (wajar ‘kan secara namanya mahasiswa yang lagi kuliah …). Dan masih banyak lagi. Kerinduan akan pasangan hidup pilihan Tuhan, tentu termasuk di dalamnya, ya!
 
Nah, itu semua terjadi karena kita lupa akan kehadiran Tuhan di hidup kita. Tidak ingat bahwa masih Tuhan yang berdaulat untuk apa pun yang ada di muka bumi ini.
 
Jika dituruti, banyak hal (bahkan mungkin semua hal) bisa menjadi sumber kekhawatiran. Dari Perang Rusia – Ukraina yang belum jelas kapan selesainya, sampai yang paling “remeh” (karena sebenarnya sudah disediakan oleh ortu) tentang apa yang akan kita makan dan pakai esok.
 
Kekhawatiran itu muncul karena kita tidak sepenuhnya yakin bahwa Tuhan yang masih pegang kendali atas semua aspek kehidupan. Rasa khawatir memang manusiawi, namun kita harus ingat bahwa sebagai orang percaya, kita diajarkan untuk selalu percaya kepada Tuhan. Tentang segala hal. Sepatutnya juga, kita berserah akan kehidupan kita kepada Tuhan, semua masalah, dan semua ketidaksempurnaan kita kepada-Nya. Ingat, bahwa Tuhan selalu memelihara umat-Nya, yakni setiap orang yang percaya kepada-Nya.
 
Tidak perlu lagi ada alasan untuk merasa cemas tentang kehidupan kita, khawatir akan hari esok, meragukan masa depan, karena Tuhan selalu menyertai, memelihara, menuntun, dan memperhatikan kita di setiap langkah kehidupan. Jadi, mulai sekarang, kita harus belajar untuk selalu yakin akan penyertaan Tuhan atas hidup kita. Juga harus yakin dan percaya bahwa rencana Tuhan, pemeliharaan Tuhan, dan kehendak Tuhan atas kehidupan kita pasti diberikan-Nya yang terbaik. Tidak pernah ada yang namanya rancangan kecelakaan.
 
Sebelum lupa, perasaan khawatir itu juga pertanda kekurangberimanan kita, lho. Makanya, kalau sudah mulai ada khawatir – besar atau kecil, berat atau ringan, cuma kita yang tahu ukurannya – periksa, jangan dibiarkan berlama-lama. Segera tepis! Dengan cara apa? Baca firman Tuhan. Berdoa sungguh-sungguh. Atau, mau yang paling ringan? Cukup dengan berseru: “Hai khawatir, engkau tidak berkuasa atas diriku. Dalam nama Yesus, enyahlah dari diriku!”
 
Gampang, ‘kan? Silahkan dicoba!
 
Ayat:
“Serahkanlah segala kekhawatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu.”
(1 Petrus 5:7).

Indah Pada Waktunya, Apalagi Waktu-Nya!

Penulis: Rodnauli Tobing
Shalom PMKers!
 
Sebagai manusia yang hidup di zaman modern dan sangat tech-minded sekarang ini, kita hampir secara otomatis terbentuk menjadi makhluk yang cenderung result oriented alias melihat segala seuatunya itu lebih banyak pada hasil ketimbang proses. Betul, tidak? Coba ingat-ingat ya, kita lebih mudah mengapresiasi orang-orang dengan keberhasilannya tanpa mau bersusah-susah mengingat gimana perjalanan, upaya, jatuh-bangunnya orang tersebut dari mulai nol yang pastinya juga didera banyak kesulitan dan tantangan. Bahkan, kita nyaris melupakan itu semua dan memilih lebih terpana dengan keberhasilannya semata. Tidak mengherankan banyak yang tertipu dengan fenomena crazy rich yang menyilaukan mata. Terpesona dengan “keberhasilan” millenials yang masih sangat muda sudah bergelimang harta, lalu ikutan dengan model bisnisnya yang menjanjikan kekayaan sangat instan yang kemudian terbukti ternyata caranya ilegal sehingga berurusan dengan proses hukum.
 
Juga, kepada teman kita yang berhasil dalam perkuliahan dengan mendapatkan nilai sangat baik dan IPK membuat ‘ngiler. Kita pasti merasa amaze. Iya, ‘kan? Tentunya, untuk meraih itu semua dibutuhkan upaya yang tidak ringan dan menuntut banyak pengorbanan: waktu, tenaga, dan pikiran. Mengorbankan kesenangan yang berlebihan (main game, nonton youtube, tiktok, dll) dan menggantikannya dengan belajar sungguh-sungguh, pastinya. Berlinang air mata? Mungkin aja! Dan masih banyak “siksaan” lainnya.
 
Itu namanya proses. Kita harus siap berproses dan juga diproses. Hasil tidak akan mendustai proses, demikian kata orang bijak. Percayalah, tidak ada pengorbanan yang sia-sia. Sebab, “Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai. Orang yang berjalan maju dengan menangis sambil menabur benih, pasti pulang dengan sorak-sorai sambil membawa berkas-berkasnya.” (Mazmur 126:5-6).
 
Jadi, maju terus dengan upaya keras, jujur, dan strategi cerdas untuk meraih prestasi tertinggi dan posisi teratas. Selain itu, perlu juga kesabaran. Jangan memaksa kehendak, apalagi dengan mengorbankan orang lain dan yang tidak perlu. Semua indah pada waktunya (Pengkhotbah 3:11), apalagi waktu-Nya. Waktu Tuhan, bukan waktu kita. Ayo!